Bullying (dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “penindasan/risak”) merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus. Terdapat banyak definisi mengenai bullying, terutama yang terjadi dalam konteks lain seperti di rumah, tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual. Namun dalam hal ini dibatasi dalam konteks school bullying atau bullying di sekolah. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Kasus bullying yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia kian memprihatinkan. Hasil kajian Konsorsium Nasional Pengembangan Sekolah Karakter tahun 2014 menyebutkan, hampir setiap sekolah di Indonesia ada kasus bullying, meski hanya bullying verbal dan psikologis/mental. Kasus-kasus senior menggencet junior terus bermunculan. Statistik kasus pengaduan anak di sektor pendidikan dari Januari 2011 hingga Agustus 2014 tergambar sbb: Tahun 2011 terdapat 61, tahun 2012 terdapat 130 kasus, tahun 2013 terdapat 91 kasus, tahun 2014 terdapat 87 kasus.
Sekolah merupakan tempat menimba ilmu, perundungan seharusnya tidak terjadi di satuan Pendidikan. Kasus perundungan alias bullying masih mendarah daging pada budaya masyarakat sampai saat ini. Biasanya tindakan bullying didukung oleh faktor senioritas. Pihak sekolah harus menciptakan lingkungan belajar yang aman dan menyenangkan bagi anak – anak, salah satu cara menciptakan lingkungan belajar yang aman dan menyenangkan adalah dengan menumbuhkan kehidupan pergaulan yang harmonis dan kebersamaan antara peserta didik dengan tenaga pengajar, orang tua serta masyarakat. Tindakan ini juga sebagai bentuk pencegahan perundungan di lingkungan anak – anak.
Untuk mendukung hal tersebut, pihak sekolah SMA Methodist 6 Medan melaksanakan kegiatan seminar dengan tema Relasi Sikap Nasionalisme dengan Bullying atau perundungan di sekolah, yang dilaksanakan pada Selasa, 16 Agustus 2022. Seminar tersebut dihadiri oleh narasumber seorang dosen dari Universitas Quality Medan Bapak Dr. (C) Frikson Jony Purba, S.Si, M.Pd dalam paparan yang disampaikan beliau menyatakan bahwa “Dalam mencegah berbagai sikap perundungan kita harus memulai dari diri sendiri, kita harus memulai dari hal yang paling kecil”. Bentuk – bentuk perundungan adalah perundungan verbal, perundungan fisik, perundungan sosial, perundungan dunia maya, perundungan seksual.
Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkait dengan Undang – undang Bullying diatur dalam pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 yang berbunyi : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”. Ancaman hukuman bagi yang melanggar pasal ini adalah pidana penjara paling lama 9 bulan. Pelaku bullying juga bisa dijerat pasal 335 KUHP mengenai tindakan tidak menyenangkan. Kemudian, apabila pelaku melakukan bullying berbau pelecehan seksual dijerat pasal 289 KUHP.
Sementara itu tindakan perundungan tidak hanya berbentuk verbal tetapi bisa juga berbentuk tindakan secara fisik dengan cara kekerasan. Sementara itu tim pencegahan tindak kekerasan sendiri adalah perwakilan guru, perwakilan siswa dan perwakilan orang tua/wali. Tugas tim pencegahan antara lain mengkoordinir dan memantau pelaksanaan kewajiban – kewajiban satuan pendidikan dalam upaya pencegahan tindakan perundungan baik secara verbal maupun secara fisik.
Upaya pencegahan oleh satuan pendidikan yaitu dengan menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan, membangun lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan serta jauh dari tindak kekerasan. Kewajiban satuan pendidikan dalam upaya pencegahan yaitu menyusun prosedur operasi standar mengacu pada pedoman Kemendikbudristek, membentuk tim pencegahan melakukan sosialisasi POS dan memasang papan layanan pengaduan.
Pada saat kegiatan seminar juga dihadiri oleh Ibu Pimpinan PKMI 6 sekaligus Kepala Sekolah SMA Methodist 6 Medan Ibu Sahara, S.S., M.Pd beliau juga menambahkan sebagai sekolah yang berlatar belakang Kekristenan kita juga harus berpedoman kepada nats Alkitab yang mengatakan,”Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya” (1 Petrus 3 : 10 – 11). Alkitab juga memberitahukan kita kalau “hidup dan mati dikuasai lidah”, (Amsal 18 : 21) Maka jawab Yesus kepadanya: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22 : 37 – 39).